Manhaj

PRINSIP-PRINSIP DAKWAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH /DAKWAH AS-SALAFIYYAH

Oleh : Fadhîlatusy Syaikh Al-‘Allâmah Shâlih bin Fauzân Al-Fauzân

hafizhahullah-

Alhamdulillâh, segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Yang telah memerintahkan kita untuk mengikuti Rasul-Nya dan berdakwah di jalan-Nya. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, dan para shahabat beliau, serta orang-orang mengikuti mereka dengan ihsân (baik) hingga Hari Pembalasan.

Sesungguh dakwah kepada (agama) Allah merupakan jalan Rasulullah r dan para pengikut beliau, sebagaimana firman Allah : “Katakanlah (wahai Muhammad) inilah jalanku, (yaitu) saya berdakwah ke jalan Allah di atas Bashîrah, (ini adalah jalan)ku dan orang-orang yang mengikutiku. Maha Suci Allah, dan aku tidak termasuk kaum musyrikin.” [Yûsuf : 108]

Bahkan dakwah merupakan misi utama para rasul dan para pengikut mereka semuanya. Dalam rangka mengeluarkan manusia dari berbagai kegelapan kepada cahaya, dari kekufuran kepada iman, dari syirik kepada tauhid, dan dari neraka kepada al-jannah.

Dakwah tersebut harus ditegakkan di atas pokok-pokok dan dibangun di atas prinsip-prinsip yang tidak bisa lepas darinya. Apabila hilang salah satu dari prinsip-prinsip tersebut maka dakwah menjadi tidak shahîh, dan tidak akan membuahkan hasil yang diharapkan, meskipun berbagai upaya telah dikerahkan dan segenap waktu telah dikorbankan. Sebagaimana hal ini dapat disaksikan dan telah dialami oleh banyak dakwah-dakwah masa ini, yang tidak ditegakkan di atas pokok-pokok tersebut dan tidak dibangun di atas prinsip-prinsip tersebut.

Pokok-pokok dan prinsip-prinsip yang harus ditegakkan di atasnya dakwah yang benar, adalah sebagaimana ditunjukkan Al-Qur`ân dan As-Sunnah, yaitu secara ringkas sebagai berikut :

1. Ilmu, (yaitu) ilmu tentang apa yang akan didakwahkan. Maka seorang yang jahil (bodoh) tidak layak untuk menjadi da’i. Allah I berfirman kepada Nabi-Nya : “Katakanlah (wahai Muhammad) inilah jalanku, (yaitu) saya berdakwah ke jalan Allah di atas Bashîrah, (ini adalah jalan)ku dan orang-orang yang mengikutiku. Maha Suci Allah, dan aku tidak termasuk kaum musyrikin.” [Yûsuf : 108]

Al-Bashîrah yang dimaksud pada ayat tersebut adalah ilmu. Karena seorang da’i pasti akan berhadapan dengan para ‘ulama sesat, dihadapkan padanya berbagai syubhat, dan akan didebat dengan kebatilan untuk menghancurkan al-haq. Allah U berfirman : “Berdebatlah dengan mereka dengan cara yang lebih baik.” [An-Nahl : 108] Rasulullah r bersabda kepada Mu’âdz : “Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari kalangan ahlul kitab.” Apabila seorang da’i tidak bersenjatakan ilmu, yang dengannya dia bisa menghadapi berbagai syubhat dan mematahkan hujjah-hujjah lawan, maka dia akan kalah sejak pertama kali bertemu musuh dan akan berhenti di permulaan jalan.

2. Amal,(yaitu) mengamalkan apa yang ia dakwahkan. Sehingga ia menjadi qudwah hasanah (teladan yang baik), perbuatannya selaras dengan ucapannya, dan tidak ada celah bagi ahlul batil atasnya (untuk menjatuhkannya). Allah I berfirman kepada Nabi-Nya Syu’aib u, bahwa beliau berkata kepada kaumnya :

“Dan aku tidak bermaksud menyalahi kalian (dengan mengerjakan) apa yang aku larang. Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) kebaikan semampuku.” [Hûd : 88]

Allah I juga berfirman kepada Nabi-Nya Muhammad r :

“Katakanlah (wahai Muhammad) bahwa sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku untuk Allah Rabbul ‘Alamin. Tidak ada sekutu bagi-Nya, dengan itu aku diperintah dan aku termasuk muslim yang pertama.”

Allah juga berfirman :

“Siapakah yang lebih baik ucapannya dibandingkan orang yang berdakwah ke jalan Allah dan beramal shalih?” [Fush-shilat : 33]

3. Al-Ikhlâsh, yaitu dakwah dilakukan karena mengharap wajah Allah U. Tidak dimaksudkan karena riya`, tidak karena sum’ah, tidak karena mencari kedudukan yang tinggi, tidak karena kepemimpinan, tidak pula karena ambisi-ambisi duniawi. Apabila dakwah terkotori oleh perkara-perkara tersebut, maka tidak lagi menjadi dakwah ilallâh (ke jalan Allah), namun menjadi dakwah kepada dirinya sendiri atau untuk memenuhi maksud dan tujuannya. Sebagaimana Allah U memberitakan tentang para nabi-Nya, bahwa mereka berkata kepada kaumnya :

“Wahai kaumku, aku tidak meminta kepada kalian atas dakwahku ini upah/bayaran.” [Hûd : 51]

“Wahai kaumku, aku tidak meminta kepada kalian atas dakwahku ini harta.” [Hûd : 29]

4. Memulai dari permasalahan terpenting kemudian yang penting. Yaitu dakwah pertama kali adalah untuk memperbaiki aqidah, dengan memerintahkan untuk ikhlash (memurnikan) ibadah hanya kepada Allah dan melarang dari kesyirikan. Kemudian setelah itu memerintahkan untuk menegakkan shalat, membayar zakat, dan mengerjakan kewajiban-kewajiban serta menjauhi larangan-larangan. Sebagaimana yang demikian itu merupakan tharîqah (metode) para rasul semuanya. Hal ini sebagaimana firman Allah :

“Sesungguhnya telah Kami utus kepada setiap umat seorang rasul (tugas utamanya adalah menyeru) bahwa ‘beribadahlah kalian hanya kepada Allah dan jauhilah oleh kalian thâghût’.” [An-Nahl : 36]

Allah Y juga berfirman : “Tidaklah Kami mengutus sebelummu seorang rasul kecuali Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi kecual Aku, maka beribadahlah kalian semua hanya kepada-Ku.” [Al-Anbiyâ` : 25]

Ketika Rasulullah r mengutus Mu’âdz bin Jabal ke negeri Yaman, beliau berpesan kepadanya : “Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari kalangan ahlul kitab. Maka jadikanlah pertama kali yang engkau dakwahkan adalah syahâdah lâilâha illallâh. Apabila mereka telah melaksanakannya, maka ajarkan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka shalat 5 waktu dalam sehari semalam. … “

Dalam tharîqah dan sejarah dakwah Rasulullah r terdapat contoh / teladan terbaik dan manhaj yang sempurna. Yaitu ketika beliau r tinggal di Makkah selama 13 tahun, menyeru umat manusia kepada tauhid dan mencegah mereka dari syirik, sebelum memerintahkan mereka untuk shalat, zakat, shaum, haji; dan sebelum melarang mereka dari riba, zina, mencuri, dan membunuh jiwa tanpa haq.

5. Sabar atas segala resiko yang didapat di jalan dakwah kepada (agama) Allah. Baik berupa kesulitan maupun gangguan manusia. Karena jalan dakwah bukan jalan yang terbentang penuh bunga, namun jalan tersebut diliputi dengan kesulitan dan penuh resiko. Sebaik-baik teladan dalam hal ini adalah para rasul shalawâtullâh wa salâmuhu ‘alahi, ketika mereka harus menghadapi berbagai gangguan dan ejekan kaumnya.

“Dan sungguh telah diejek beberapa rasul sebelum kamu, maka turunlah kepada orang-orang yang mencemoohkan di antara mereka itu balasan (azdab) atas ejekan yang mereka lakukan.” [Al-An’âm : 10]

Allah juga berfirman : “Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Allah kepada mereka.” [Al-An’âm : 34]

Demikian juga para pengikut rasul mereka juga akan mendapatkan gangguan dan rintangan sesuai dengan tingkat turut andilnya dalam dakwah ilallâh, dalam rangka mencontoh para rasul yang mulia tersebut –‘alaihim minallâh afdhalushalawât wa azkas salâm

6. Seorang da’i harus berhias dengan akhlaq yang mulia dan menempuh cara hikmah dalam dakwahnya. Karena yang demikian lebih mengantarkan kepada diterimanya dakwah yang ia lakukan. Sebagaimana Allah U memerintahkan kepada dua orang Nabi-Nya yang mulia : Nabi Mûsâ dan Nabi Hârûn ‘alahimassalâm, agar mereka menempuh cara (hikmah) tersebut dalam menghadapi penduduk bumi yang paling kafir, yaitu Fir’aun, yang telah mengklaim haq Rububiyyah. Allah berfirman : Maka berbicaralah kalian berdua kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, agar ia mau ingat atau takut”. [Thâhâ : 44]

Allah juga berkata kepada Nabi Mûsâ u : “Berangkatlah kamu kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Dan katakanlah (kepada Fir’aun) : “Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri (dari kekufuran)? Dan kamu aku bimbing ke jalan Rabb-mu agar supaya kamu takut kepada-Nya?” [An-Nâzi’ât : 17-19]

Allah juga berfirman tentang Nabi kita Muhammad e : “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu bisa bersikap lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka akan menjauh dari sekelilingmu.” [Âli ‘Imrân : 159]

Allah berfirman : Dan sesungguhnya kamu benar-benar berakhlaq yang agung.” [Al-Qalam : 4]. Allah juga berfirman : Berdakwalah kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah, dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.” [An-Nahl : 125]

7. Seorang da’i harus memiliki optimisme yang tinggi. Tidak putus asa dari keberhasilan dakwahnya dan datangnya hidayah kepada kaumnya. Tidak putus asa akan datangnya pertolongan Allah dan bantuan-Nya, meskipun harus menempuh waktu yang lama dan masa yang panjang. Dalam hal ini, pada diri para rasul terdapat teladan yang baik baginya.

Inilah Nabiyyullâh Nûh u. Beliau tinggal di tengah-tengah kaumnya selama 950 tahun untuk mendakwahi kaumnya ke jalan Allah. Dan ini juga Nabi kita Muhammad e, ketika gangguan orang-orang kafir semakin dahsyat, dan datang malaikat penjaga gunung untuk meminta kepada beliau agar diizinkan untuk menimpakan dua gunung besar kepada mereka, justru Nabi mengatakan : “Jangan, aku masih berharap dari mereka! Semoga Allah mengeluarkan dari mereka keturunan yang beribadah yang kepada Allah tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apapun.”

Apabila sifat-sifat ini hilang dari seorang da’i, maka dia akan berhenti di awal jalan dan akan merasakan kerugian dengan amalnya.

Sungguh, dakwah manapun yang tidak ditegakkan di atas prinsip-prinsip tersebut, manhajnya tidak ditegakkan di atas manhajnya para rasul, maka dakwah tersebut akan merasakan kerugian dan hancur. Akan menjadi susah payah belaka tanpa ada manfaatnya. Sebaik-baik bukti akan hal ini adalah (munculnya) kelompok-kelompok pada masa ini. Mereka menggariskan untuk kelompoknya satu manhaj dakwah tersendiri yang berbeda dengan manhaj para rasul. Kelompok-kelompok tersebut –kecuali sedikit dari mereka- telah mengabaikan aspek aqidah, dan hanya berdakwah untuk memperbaiki perkara-perkara sampingan yang tidak penting.

Ada kelompok yang berdakwah untuk memperbaiki hukum dan politik, serta menuntut ditegakkannya hukum-hukum haddan diterapkan syari’at dalam hukum antar manusia – ini merupakan sisi yang penting namun bukan yang terpenting—Bagaimana mereka menuntut diterapkannya hukum Allah terhadap pencuri dan pezina sebelum diterapkannya hukum Allah terhadap orang musyrik? Bagaimana mereka menuntut diterapkannya hukum Allah terhadap dua pihak yang bertikai dalam masalah kambing atau onta, sebelum diterapkannya hukum terhadap para penyembah berhala dan kubur? Dan juga terhadap orang-orang yang menyimpang dalam masalah nama-nama dan sifat-sifat Allah, sehingga mereka mengingkarinya dan menyimpangkan makna-maknanya?

Apakah mereka ini (orang-orang musyrik dan yang menentang nama-nama dan sifat-sifat Allah) yang lebih besar penentangannya ataukah mereka yang berzina, minum khamr, atau mencuri?!! Sesungguhnya pelanggaran tersebut hanya terkait dengan hak hamba, adapun syirik dan menafikan nama-nama dan sifat-sifat Allah merupakan pelanggaran terhadap hak Al-Khâliq I. Hak Al-Khâliq harus diutamakan daripada hak-hak para makhluk.

Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyyahv mengatakan dalam kitab Al-Istiqâmah (I/466) : “Dosa-dosa ini (mencuri, berzina, minum khamr, dll) namun diiringi dengan bersihnya tauhid masih lebih baik dibanding rusaknya tauhid bersama dosa-dosa tersebut.”

Ini (satu jenis kelompok). Ada juga kelompok lain, yang juga berkecimpung dalam dakwah, namun mereka berjalan di atas manhaj lain, yang juga berbeda dengan manhajnya para rasul. Mereka tidak memandang masalah aqidah sebagai permasalahan yang penting. Namun mereka mementingkan urusan ibadah dan menekuni beberapa dzikir ala manhaj shufiyyah. Mereka juga mementingkan urusan khurûj dan siyâhah. Yang menjadi perhatian mereka adalah bagaimana bisa merekrut orang agar mau diajak bersama mereka tanpa memperhatikan bagaimana aqidah orang yang diajak tersebut. Cara-cara tersebut semua adalah bid’ah. Mereka seperti orang yang hendak mengobati jasad yang terputus kepalanya. Karena kedudukan aqidah terhadap agama adalah seperti kedudukan kepala terhadap jasad.

Maka diharapkan kepada kelompok-kelompok tersebut untuk memperbaiki pemahaman mereka, dengan cara kembali merujuk kepada Al-Kitab dan As-Sunnah dalam rangka mengetahui bagaimana manhaj para rasul dalam dakwah ilallâh. Karena sesungguh Allah telah mengkhabarkan bahwa al-hâkimiyyah dan kekuasaan –yang menjadi orientasi dakwah kelompok-kelompok yang kita sebutkan di atas—tidak akan terwujud kecuali setelah dilakukan pembenaran terhadap aqidah, yaitu dengan merealisasikan ibadah hanya kepada Allah semata dan meninggalkan peribadahan kepada selain-Nya.

Allah U berfirman :

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan mengerjakan amal-amal shalih bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa. Dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap beribadah kepada-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” [An-Nûr : 55]

Sementara mereka menginginkan tegaknya daulah sebelum membersihkan negeri dari aqidah-aqidah watsaniyyah dalam bentuk peribadahan kepada orang-orang mati, bergantung kepada berhala, yang tidak jauh berbeda dengan peribadahan (musyrikin arab di zaman Nabi e) kepada Al-Lât dan Al-‘Uzzâ serta yang ketiga berikutnya Manât. Bahkan kondisinya lebih parah, karena mereka berusaha mencari-cari alasan untuk membenarkan perbuatannya.

Sesungguhnya berhukum kepada syari’at, penegakan hukum-hukum had, tegaknya daulah islamiyyah, menjauhi segala perbuatan haram, dan pelaksanaan semua kewajiban; semua perkara ini merupakan bagian dari hak-hak tauhid dan penyempurnanya, yang itu sifatnya mengikuti (tauhid). Maka bagaimana mementingkan perkara yang sifat mengikuti saja dan mengabaikan perkara yang pokok/utama?

Sungguh aku melihat, bahwa apa yang terjadi pada kelompok-kelompok tersebut, yaitu penyimpangan terhadap manhaj para rasul dalam metode dakwah mereka, tidak lain terjadi akibat kejahilan mereka terhadap manhaj para rasul. Seorang yang jahil tidak layak menjadi da’i. Karena di antara syarat dakwah yang terpenting adalah ilmu. Sebagaimana firman Allah Ta’âlâ : Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, yaitu berdakwah kepada Allah di atas bashîrah. (Ini adalah jalan)ku dan orang-orang yang mengikutiku, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”. [Yûsuf : 108] Maka bekal utama seorang da’i adalah ilmu.

Kemudian sungguh kami juga melihat, bahwa kelompok-kelompok yang berkecimpung dalam dakwah itu saling berselisih satu sama lain. Masing-masing kelompok menggariskan untuk kelompoknya satu garis tertentu yang berbeda degan kelompok lainnya, masing-masing menempuh manhaj yang berbeda dengan manhaj kelompok lainnya. Ini merupakan akibat pasti dari penyelisihan mereka terhadap manhaj Rasulullah e. Karena manhaj rasul itu satu, tidak terbagi dan tidak ada perbedaan padanya. Sebagaimana firman Allah Ta’âlâ : Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, yaitu berdakwah kepada Allah di atas bashirah. (Ini adalah jalan)ku dan orang-orang yang mengikutiku”. [Yûsuf : 108] Maka para pengikut rasul pun juga berada di atas jalan yang satu ini dan tidak berselisih. Hanyalah yang berselisih itu adalah orang-orang yang menyimpang dari jalan tersebut. Sebagaimana firman Allah : “Dan bahwa (yang kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah jalan tersebut, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena kalian akan bercerai berai dari jalan-Nya.” [Al-An’âm : 153]

Karena kondisi kelompok-kelompok tersebut yang menyimpang dan saling berselisih satu sama lain, menyebabkan bahaya terhadap Islam –karena bisa jadi menghalangi seseorang yang berkehendak masuk Islam— maka harus dijelaskan kondisi kelompok-kelompok tersebut yang sebenarnya, dijelaskan bahwa yang demikian itu (perpecahan) tidak termasuk dari Islam sedikitpun. Sebagaimana firman Allah Ta’âlâ : Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi berkelompok-kelompok, maka kamu bukan bagian dari mereka sedikitpun.” [Al-An’âm : 159] Karena Islam menyeru kepada persatuan di atas Al-Haq. Sebagaimana firman Allah : Tegakkanlah agama dan janganlah kalian berpecah belah tentangnya.” [Asy-Syûra : 13] Allah juga berfirman : Dan berpeganglah teguhlah kalian semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai berai.” [Âli ‘Imrân : 103]

Karena menjelaskan hal itu merupakan perkara yang wajib, menyingkap (hakekat sebenarnya) merupakan perkara yang harus, maka tampillah beberapa ‘ulama -yang memiliki ghîrah dan semangat menegakkan al-haq- untuk memperingatkan kesalahan-kesalahan kelompok-kelompok dakwah tersebut, dan menjelaskan penyimpangan-penyimpangan mereka dalam dakwah dari manhaj para nabi. Dengan harapan mereka mau kembali kepada kebenaran, karena sesungguhnya al-haq merupakan barang yang senantiasa dicari oleh seorang mukmin, dan agar tidak tertipu orang-orang yang belum mengetahui penyimpangan kelompok-kelompok tersebut.

Di antara para ‘ulama yang mengemban tugas penting dan mulia ini, dalam rangka mengamalkan sabda Nabi e : “Agama adalah nasehat, agama adalah nasehat, agama adalah nasehat.” Para shahabat bertanya : untuk siapa wahai Rasulullah? Beliau menjawab : “Untuk Allah, untuk kitab-Nya, untuk Rasul-Nya, dan untuk para imam kaum muslimin serta keumuman mereka.” Di antara para ‘ulama tersebut, yang menjelaskan dan memberikan nasehat, adalah Fadhîlatusy Syaikh DR. Rabî’ bin Hâdi Al-Madkhali dalam kitabnya yang ada di hadapan kita, berjudul Manhajul Anbiyâ’ fid Da’wati ilallâh fîhi Al-Hikmah wal ‘Aql. Sungguh beliau telah menjelaskan –Allah telah memberinya taufiq dan balasan yang baik- manhaj para rasul dalam dakwah ilallâh sebagaimana yang terdapat dalam Kitabullâh dan Sunnah Rasul-Nya. Beliau juga memaparkan di dalamnya manhaj kelompok-kelompok yang berbeda-beda dan menyimpang dari manhaj para rasul. Beliau juga mengkritik manhaj-manhaj tersebut dengan kritikan yang ilmiah dan adil diiringi dengan penyebutan contoh-contoh dan bukti-bukti. Maka kitab beliau ini sudah tepat sesuai dengan maksud dan tujuannya. Mencukupi orang-orang yang menginginkan al-haq, sekaligus hujjah atas siapa-siapa yang menentang dan sombong.

Maka kita memohon kepada Allah agar memberikan pahala atas amalannya, dan menjadikannya bermanfaat. Semoga Allah memberikan shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, dan para shahabatnya.

Ditulis oleh

Shâlih bin Fauzân

Dosen di Universitas Islam

Al-Imâm Muhammad bin Su’ûd.

[ditulis sebagai muqaddimah kitab Manhajul Anbiyâ’ fid Da’wati ilallâh fîhi Al-Hikmah wal ‘Aql karya Asy-Syaikh DR. Rabî’ bin Hâdi Al-Madkhali hafizhahullâh]

Terbaru

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Baca juga
Close
Back to top button