Nasehat

Mengenal Kitab-Kitab al-‘Allamah Rabi’ al-Madkhali (3)

Pengantar

Mengenal ‘ulama kibar dan keilmuan mereka merupakan salah satu pembahasan penting yang mesti diketahui. Karena kita diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk mengembalikan berbagai urusan agama kita kepada mereka, terkhusus Nawazilil Umur (permasalahan kontemporer) yang menimpa umat. Sebagaimana firman Allah,

{وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيلًا (83)} [النساء: 83]

Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri  di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu). (an-Nisa: 83)

Sehingga dengan tulisan ini diharapkan para pembaca mengenal siapa ‘ulama kibar di masa ini. Yang di antara tugas dan misi para ‘ulama kibar tersebut, sebagaimana dalam sebuah hadits,

يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُوْلُهُ يَنْفُوْنَ عَنْهُ تَحْرِيْفَ الغَالِيْنَ وَانْتِحَالَ الْمُبْطِلِيْنِ وَتَأْوِيْلَ الْجَاهِلِيْنَ

Ilmu agama ini akan terus dibawa oleh orang-orang adil (terpercaya) dari tiap-tiap generasi, yang selalu berjuang membersihkan agama ini dari : Tahriful Ghalin (pemutarbalikan pengertian agama yang dilakukan oleh orang-orang yang menyimpang), Intihalul Mubthilin (Kedustaan orang-orang sesat yang mengatasnamakan agama), dan Ta’wilul Jahilin (Penta’wilan agama yang salah yang dilakukan oleh orang-orang jahil) (asy-Syari’ah karya al-Ajurri, Al-Ibanah Ibnu Baththah, dishahihkan oleh al-Albani dalam Misyakah al-Mashabih no. 248)

Ketika umat telah mengenal keberadaan para ‘ulama kibar yang berjalan di atas manhaj yang lurus dan keilmuan yang luas, maka mereka akan terhindar dari salah satu sikap tercela yang membahayakan, yaitu mengembalikan urusan umat kepada al-ashaghir atau ar-ruwaibidhah. Untuk yang pertama, yaitu bahaya mengambil ilmu dari al-asaghir, berkata tentangnya ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu :

لا يزال الناس في خير ما أخذوا العلم عن أكابرهم ، وإذا أخذوه عن أصاغرهم وشرارهم هلكوا

“Umat manusia akan senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka mengambil ilmu dari tokoh-tokoh besar mereka (yakni para ‘ulama kibar ahlus sunnah). Namun apabila mereka mengambilnya dari orang-orang kecil dan orang jelek mereka (para ahlul bid’ah dan pengekor hawa nafsu) pasti umat akan binasa.” (Jami’ Bayinil ‘ilmi wa Fadhlihi, 1057)

Untuk yang kedua, yaitu bahaya mengambil ilmu dari ar-ruwaibidhah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

«سَيَأْتِي عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتُ، يُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ، وَيُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ، وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ، وَيُخَوَّنُ فِيهَا الْأَمِينُ، وَيَنْطِقُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ» ، قِيلَ: وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ؟ قَالَ: «الرَّجُلُ التَّافِهُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ»

Akan tiba nanti kepada umat manusia masa-masa yang penuh tipu daya. Para pendusta dianggap orang jujur sebaliknya orang jujur dicap pendusta. Orang yang khianat dianggap amanah dan orang yang amanah dicap pengkhianat. Dan para Ruwaibidhah mulai angkat bicara!

Ada yang bertanya : “Siapa itu Ruwaibidhah?”

beliau menjawab : “Orang dungu sok berbicara tentang urusan orang banyak (umat).[1])

Demikian juga bahaya mengambil ilmu atau fatwa dari para juhala‘ (orang-orang bodoh) yang telah diposisikan oleh umat sebagai ‘ulama tempat mendapatkan fatwa, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ، وَ لَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ، حَتىَّ إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا، اِتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوْسًا جُهًّالاً، فَسُئِلُوا، فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ، فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا

Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan serta merta dicabut dari qalbu-qalbu hati manusia. Akan tetapi Allah mencabutnya dengan mewafatkan para ‘ulama. Sehingga kalau Allah tidak lagi menyisakan seorang ‘ulama pun, maka manusia akan menjadikan pimpinan-pimpinan yang bodoh, sehingga para pimpinan bodoh tersebut akan ditanya sehingga mereka berfatwa tanpa ilmu, akhirnya mereka sesat dan menyesatkan. [Muttafaqun ‘alaihi][2])

Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu ‘ulama kibar di masa ini, yang dikenal dengan keilmuannya yang luas, dan kelurusan manhajnya, serta kegigihannya dalam membela sunnah dan membantah berbagai bid’ah dan kesesatan, adalah asy-Syaikh al-‘Allamah DR. Rabi’ bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah

Agar umat dapat mengenal beliau lebih dekat, maka kami sajikan dalam situs tercinta ini resensi kitab-kitab karya beliau dalam berbagai disiplin ilmu, insya Allah. Selamat mengikuti.

__ * * * __

أضواء إسلامية على عقيدة سيد قطب وفكره

Adhwa’ Islamiyyah ‘ala aqidati Sayyid Quthub wa fikrihi

Segala puji syukur hanyalah milik Allah Ta’ala yang senantiasa menjaga agama ini dari berbagai penyimpangan dan kedustaan dengan adanya para ulama yang membimbing umat, Rasulullah bersabda:

يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُوْلُهُ يَنْفُوْنَ عَنْهُ تَحْرِيْفَ الْغَالِيْنَ وَانْتِحَالَ الْمُبْطِلِيْنَ وَتَأْوِيْلَ الْجَاهِلِيْنَ

“Ilmu agama ini akan terus dibawa oleh orang-orang adil (terpercaya) dari tiap-tiap generasi yang selalu berjuang membersihkan agama ini dari pemutarbalikan pemahaman agama yang dilakukan orang-orang yang menyimpang, kedustaan orang-orang sesat yang mengatasnamakan agama, dan dari pentakwilan agama yang salah yang dilakukan orang-orang jahil.” (HR. Al Khathib Al Baghdadi dalam Syaraf Ash habil Hadits hal. 11. Asy Syaikh Al Albani menukilkan penshahihan dari Al Imam Ahmad dan Al ’Ala`i dalam Misykatul Mashabih)

Diantara para ulama tersebut adalah Asy Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali hafizhahullahu seorang alim yang telah diakui keilmuannya dan dikenal dengan kelurusan manhajnya serta kegigihannya di dalam membela Tauhid dan Sunnah serta memerangi bid’ah dan Ahli bid’ah, sebagai upaya menjaga kaum muslimin dari bahaya penyimpangan dan kerusakan akidah yang tersebar.

Banyak pujian para ulama yang ditujukan kepada asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali hafizhahullahu, diantaranya yang disampaikan oleh Asy Syaikh Al Muhaddits Nashiruddin Al Albani rahimahullahu ketika mengomentari Sayyid Quthub selesai membaca kitab ‘Al Awaashim mimma fi kutubi Sayyid Quthub minal Qawaashim (salah satu kitab karya Asy Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali hafizhahullahu di dalam membantah Sayyid Quthub):

‘Seluruh yang kau bantahkan kepada Sayyid Quthb adalah benar dan tepat, dan darinya akan menjadi jelas bagi setiap pembaca muslim yang memiliki pengetahuan tentang Islam bahwa Sayyid Quthb tidak berada di atas pengetahuan Islam, baik pokok-pokok dasar Islam maupun cabang-cabangnya. Semoga Allah membalas anda dengan kebaikan wahai al-Akh Rabi’ atas upayamu melakukan kewajiban penjelasan dan membongkar kebodohan dia (Sayyid Quthb) serta penyimpangannya dari agama Islam.’ – (tertanda) Nashir – [3]

Berbicara tentang Sayyid Quthub, maka nama tersebut sudah tidak lagi asing bagi para aktivis pergerakan tertentu di Indonesia, ia bak cendekiawan besar yang pemikirannya senantiasa dinanti, dielukan, diikuti serta cepat mendapat tempat di ruang hati para pemujanya. Demikian dipuja dan ditokohkan, membuat sosok tersebut seakan ma’shum dari kesalahan dan kekurangan, ketika didapati ada kritikan serta merta para pemujanya tampil sebagai pembela.

Kitab-kitab hasil karyanya mendapat sambutan hangat dari para aktivis pergerakan, dalam keadaan kitab-kitab tersebut penuh dengan kebidahan, kesesatan, pemikiran yang rusak dan berbagai fatwa yang berseberangan dengan syariat.

Berbagai pemikiran batil tersebut telah dibantah oleh asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali dengan ilmiah dalam empat kitab yang sangat berharga, yaitu:

–          Adhwa` Islamiyah ‘Ala ‘Aqidati Sayyid Quthub wa Fikrihi,

–          Matha’in Sayyid Quthub Fi Ash-habi Rasulillah radhiyallahu ‘anhu,

–          Al-‘Awaashim Mimma Fi Kutubi Sayyid Quthub Min al-Qawaashim,

–          dan al-Haddul Fashil Baina a- Haqqi wa al-Bathil.

Kitab yang pertama adalah Adhwa’ Islamiyyah ‘ala aqidati Sayyid Quthub wa fikrihi, menyingkap kerusakan akidah, dan bantahan terhadap orang-orang yang berlebihan kepada Sayyid Quthub. Kitab ini selesai penulisannya pada bulan Dzulqa’dah tahun 1413 Hijriah.

Pada kitab ini asy-Syaikh Rabi’ mengawali dengan Mukaddimah yang berisi latar belakang penulisan kitab dan disusul dengan sekilas tentang perjalanan hidup Sayyid Quthub, kemudian beliau mulai menjelaskan poin-poin kesalahan Sayyid pada bab-bab selanjutnya dengan metode menyebutkan nukilan kebatilan-kebatilan Sayyid Quthb dari kitab-kitabnya, kemudian diikuti dengan bantahan terhadapnya secara ilmiah dari Al Quran, as-Sunnah, dan penjelasan-penjelasan para ‘ulama pada permasalahan tersebut.

Asy-Syaikh Rabi’ menyebutkan bahwa Sayyid Quthub telah terjatuh dalam kebid’ahan yang sangat besar dan sangat banyak, melebihi dari apa yang telah tercatat dalam kitab ini. Beberapa poin tersebut diantaranya adalah;

1. Mencela terhadap kredibilitas khalifah Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu. Sebagaimana pernyataannya: “Kami cenderung menganggap khilafah ‘Ali sebagai kepanjangan yang alami bagi khilafah syaikhani sebelumnya (Abu Bakr dan Umar) dan sesungguhnya masa Utsman adalah celah di antara keduanya”. (Adhwa’ Islamiyyah hal.26, nukilan dari kitab Sayyid yang berjudul al-‘Adalah al-Ijtima’iyyah)

Kemudian pernyataannya, bahwa hukum Islam telah berubah pada masa pemerintahan ‘Utsman, tidak baik di dalam pengaturan harta kaum muslimin, mengutamakan keluarga, serta berbagai tuduhan keji yang lain. (Adhwa’ Islamiyyah hal 26-27 dengan ringkasan dari penyusun)

2. Mengenal Kitab-Kitab al-‘Allamah Rabi’ al-Madkhali (3)Menyelisihi pemahaman ahlus sunnah dalam menafsirkan kalimat tauhid. Sayyid menyatakan bahwa makna Laa ilaha illallah adalah La hakimiyyah illallah dan bukan dengan laa ma’buda bihaqqin illallah. Selain itu Sayyid Quthb juga tidak mempunyai kejelasan di dalam masalah perbedaan antara tauhid rububiyyah dengan tauhid uluhiyyah, dan menukar makna rububiyyah dengan uluhiyyah sehingga hilanglah fungsi tauhid (uluhiyyah) yang Allah mengutus para rasul-Nya dengan membawa tauhid uluhiyyah tersebut.

3. mengkafirkan masyarakat kaum muslimin dan mengatakan bahwa masjid-masjid mereka adalah tempat peribadahan jahiliyyah, Sayyid Quthub juga beranggapan bahwa masyarakat muslimin telah murtad, ia katakan: “…Sesungguhnya manusia telah kembali kepada jahiliyyah dan murtad dari la ilaha illallah. Sehingga mereka memberikan kekhususan ketuhanan kepada manusia, dan (mereka) belum kembali mentauhidkan Allah ‘Azza wa Jalla dan memurnikan loyalitas kepada-Nya… Manusia secara keseluruhan, termasuk di dalamnya adalah mereka yang mengulang-ulang di atas tempat adzan di belahan bumi timur maupun barat kalimat laa ilaha illallah tanpa ada makna dan realita… Mereka itu lebih berat dosa dan adzabnya di hari kiamat, karena mereka murtad menuju peribadatan kepada para hamba setelah jelas baginya petunjuk, dan setelah sebelumnya mereka dalam agama Allah ‘Azza wa Jalla”. (Fi Zhilalil Qur`an, 2/1057 dinukil dari Adhwa` Islamiyyah, hal. 75)

Demikian ia memvonis murtad masyarakat muslim di belahan timur bumi maupun barat, hanya karena anggapannya bahwa mereka tidak berhukum dengan hukum Allah ‘Azza wa Jalla. Sungguh batil apa yang ia ucapkan. Ucapannya itu timbul karena dia melenceng dari akidah Ahlus Sunnah dalam masalah ini.

4. Berlebihan di dalam meniadakan sifat-sifat Allah sebagaimana Jahmiyyah. Di antaranya Sayyid Quthb meniadakan sifat Istiwa’, Nuzul, al-Yad. Poin ini banyak ditemui di kitab Fi Zhilalil Qur’an. Dalam hal ini, dia mempunyai kaidah yang menunjukkan bahwasanya dia mengetahui khilaf antara ahlus sunnah dan ahlul bidah, akan tetapi ternyata kecondongan kepada pendapat ahlul bid’ah-lah yang dia pilih.

5. Ragu dan membuat keraguan tentang permasalahan akidah yang wajib untuk diyakini, seperti masalah al-Jannah (Surga) yang ditempati pertama kali oleh Nabi Adam, keberadaan malaikat dan iblis, serta keraguan bahwa Allah mengajak bicara Adam, malaikat dan iblis, bahkan mengingkari permasalahan yang telah mutawatir tentang ru’yatullah di Hari Kiamat.

6. Meremehkan syirik dalam hal peribadahan, dan banyak membesar-besarkan syirik dalam hal hukum kepada selain hukum Allah. Mengatakan bahwa kesyirikan bangsa Arab yang pokok dan mendasar bukan pada permasalahan akidah, akan tetapi pada permasalahan hakimiyyah, sehingga berangkat dari pemikirannya ini dia tidak mengingkari syirik kubur, bahkan tidak menganggapnya sebagai kesyirikan dan kerusakan dalam akidah.

7. Pernyataan dan keyakinannya tentang Al-Hulul dan Al-Ittihad atau Wihdatul Wujud. [4]  Sayyid berpendapat bahwa wihdatul wujud dan al-hulul adalah bentuk kesempurnaan yang tidak didapati oleh kebanyakan manusia sehingga barangsiapa yang tidak sampai pada tingkatan ini mustahil bisa mentadabburi ayat-ayat Allah.

8. Meruntuhkan prinsip al wala wal bara, diantara pernyataan Sayyid bahwa agama Islam tidaklah merasa sempit dengan adanya perbedaan manusia di dalam manhaj dan akidah, bahkan menganggapnya sebagai salah satu kebutuhan dari berbagai kebutuhan fitrah manusia.

beberapa point yang tersebut di atas hanyalah sedikit diantara sekian banyak kesesatan dalam permasalahan akidah yang memenuhi kitab-kitab Sayyid Quthb.

Kemudian asy-Syaikh al-‘Allamah Rabi’ al-Madkhali memberikan kesimpulan di akhir kitabnya dengan menyebutkan point-point kesalahan Sayyid Quthb secara ringkas, beserta bukti bahwa dia tidaklah terjatuh pada berbagai kesalahan disebabkan kejahilannya, hal itu terbukti dengan 2 hal:

  1. Sayyid mengisyaratkan adanya khilaf (perbedaan) antara ahlus sunnah dan ahlul bid’ah di dalam menyikapi sebuah permasalahan, namun ternyata dia condong kepada pendapat ahlul bidah, kemudian menggiring pembaca untuk mengikuti pendapat ahlul bidah bahkan berusaha menganggap remeh dan ringan permasalahan khilaf di bidang akidah tersebut, dengan tujuan pembaca yang semula seorang ahlus sunnah bisa bergabung dengan ahlul bidah atau minimalnya menganggap ringan permasalahan khilaf di bidang akidah dan menghormati ahlul bidah.
  2. tidak ruju’ kepada al-haq setelah diperingatkan asy-Syaikh Mahmud Syakir tentang celaan dia terhadap khalifah Utsman bin ‘Affan dan para shahabat, bahkan dia terus di atas kesesatannya dengan mengijinkan untuk dicetak kembali buku-bukunya dan menambahkan pembahasan baru di dalam kitabnya al-‘Adalah al-Ijtima’iyyah bahwa masyarakat muslimin telah murtad.

Sehingga bisa disimpulkan, bahwa anggapan Sayyid Quthb telah ruju’ atau tidak mengetahui hakekat permasalahan adalah anggapan yang batil dan salah, bahkan berbagai tindakan Sayyid Quthb di dalam menukilkan pemikirannya dari satu kitab ke kitab yang lain, atau menyandarkan kitab-kitab karyanya yang terbaru kepada kitab-kitab karyanya yang terdahulu, semakin menguatkan bahwa dia masih terus-menerus dan tenggelam di dalam pemikiran yang sesat dan tidak berupaya menyelamatkan diri dengan cara menuruti nasehat para ulama.

Akhir kata, kitab ini  Adhwa’ Islamiyyah ini menjadi pembuka cakrawala dan pencerah bagi para pencari kebenaran tentang hakikat Sayyid Quthub dan pemikirannya. Semoga Allah senantiasa menjaga dan melindungi kita dari fitnah yang tampak maupun yang tersembunyi, dan semoga Allah senantiasa menjaga para pewaris nabi yaitu para ulama sunnah di setiap zaman, amin Ya Rabbal ‘Alamin.



[1]  HR. Ibnu Majah 4042; Al Hakim IV/465, 512; Ahmad II/291, dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Ibni Majah no. 4108. dan Ash Shahihah no. 1887.

[2]  HR. Al Bukhari no. 100; Muslim 2673.

[3]  Maksudnya adalah : “Tertanda Muhammad Nashiruddin al-Albani”

[4]  Sekte al-Hululiyyah. Dari kata al-Hulul yang arti tinggal atau menetap. Sekte al-Hululiyyah ini meyakini bahwa Allah bertempat/berada pada makhluk-makhluk. Subhanahu wa Ta’ala ‘amma yaqulun!

Ada pula kelompok lain yang disebut dengan al-Ittihadiyyah atau wihdatul wujud, yaitu meyakini bahwa semua wujud yang ada di alam ini merupakan wujud Allah itu sendiri, bukan wujud selain-Nya, tidak ada kecuali hanya wujud-Nya saja.

 Perbedaan antara al-Hululiyyah dengan al-Ittihadiyyah adalah,

– Bahwa al-Ittihadiyyah meyakini bahwa alam semesta ini semuanya adalah wujud Allah. Tidak ada perbedaan antara wujud alam dengan wujud Allah. Jadi semua yang ada di alam ini tidak lain merupakan wujud Allah itu sendiri.

– Adapun al-Hululiyyah, masih membedakan antara dua wujud, yaitu : (1) wujud Allah, (2) wujud makhluk. namun Allah bertempat di dalam makhluk.

 Tidak diragukan dua kelompok tersebut sama-sama kafir. Namun al-Ittihadiyyah lebih para kekufurannya daripada al-Hululiyyah.

Terbaru

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Baca juga
Close
Back to top button